OSCE PERDANA APOTEKER INDONESIA



OSCE PERDANA APOTEKER INDONESIA

 28 hingga 30 Agustus 2015 menjadi hari bersejarah untuk almamater saya Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pasalnya, hari itu adalah hari dilaksanakannya ujian OSCE perdana untuk apoteker Indonesia dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi tuan rumahnya. Seperti yang diketahui bahwa selama ini ujian OSCE baru berjalan di Kedokteran. Memiliki program studi Farmasi yang terintegrasi dan satu atap dengan kedokteran, membuat Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) melirik dan meminta izin kepada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta agar dapat menggunakan ruangan OSCE kedokteran untuk melaksanakan OSCE Apoteker perdana ini. Kesempatan bagi staff pengajar, laboran dan mahasiswa farmasi UIN Jakarta untuk berpartisipasi dalam OSCE ini terbuka luas. Staff pengajar berkesempatan menjadi bagian dari penyusunan soal OSCE dan juga sebagai asessor (penilai), laboran berkesempatan membantu berlangsungnya OSCE pada salah satu station dan mahasiswa berkesempatan menjadi pasien dan merasakan berlangsungnya ujian OSCE.
Terbukanya peluang untuk menjadi pasien OSCE membuat saya tertarik untuk mendaftarkan diri menjadi salah satunya. Saya berpikir, ini adalah kesempatan emas yang langka. Selama ini, saya hanya mendengar dan membaca informasi terkait ujian OSCE dan ketika menjadi pasien OSCE, pastinya akan memberi gambaran bagi saya bagaimana mekanisme OSCE berjalan dan mengetahui tipe-tipe soal yang akan dikeluarkan. Menjadi pasien OSCE juga merupakan bekal bagi saya karena kelak akan mengikuti ujian ini pula.
OSCE ( objective, structure, clinical, and exam) merupakan gebrakan baru dari IAI untuk menguji apoteker-apoteker yang ada di Indonesia dan mengeluarkan sertifikat kompetensi bagi peserta yang berhasil melewatinya (lulus). OSCE ditujukan untuk calon apoteker yang nantinya termasuk pula dalam mekanisme ujian kompetensi apoteker Indonesia (UKAI) dan untuk apoteker lama yang belum memiliki sertifikat kompetensi. OSCE yang dilaksanakan di FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beberapa hari lalu merupakan OSCE perdana untuk apoteker lama yang lulus sebelum tahun 2011 dan belum mendapatkan sertifikat kompetensi. Blueprint yang telah dibuat IAI dan APTFI juga pertama digunakan saat OSCE ini berlangsung.
Yang perlu diketahui adalah, sertifikat kompetensi sangatlah mutlak dibutuhkan oleh seorang apoteker yang menjalankan profesi kefarmasian. Terlebih di akhir tahun 2015, Indonesia akan menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) yang mana daya saing sumber daya manusia semakin meningkat. Pada dasarnya, sertifikat kompetensi hanya dilakukan satu kali. Namun sesuai dengan PP No. 51 Tahun 2009 dan PERMENKES No. 889 Tahun 2009 tentang masa berlaku sertifikat kompetensi yaitu 5 tahun, maka sertifikat kompetensi apoteker harus diperbarui setiap 5 tahun sekali dengan pembobotan  SKP (Satuan Kredit Partisipasi) atau re-sertifikasi. Proses re-sertifikasi ini adalah proses pengakuan ulang kemampuan apoteker dan pertanggungjawaban pelaksanaan kinerja kompetensi selama 5 tahun. Sebelumnya, proses re-sertifikasi hanya dilakukan dengan pembobotan SKP. Namun kini, proses tersebut ditambah dengan mengikuti OSCE. SKP yang harus diperoleh apoteker selama 5 tahun adalah 150 SKP dengan 3 domain utama yaitu (praktik, pembelajaran, dan pengabdian masyarakat).
Apa bedanya UKAI dengan OSCE?
            UKAI ditujukan untuk calon apoteker yang ingin mendapatkan sertifikat kompetensi. UKAI terdiri dari 2 mekanisme, yaitu Computer Based Learning (CBT) dan OSCE. Selama ini, try out  UKAI yang telah diselenggarakan 3x baru menggunakan sistem CBT. Tapi kedepannya UKAI dilaksanakan pula dengan metode OSCE sehingga OSCE untuk calon apoteker merupakan bagian dari UKAI. Sementara OSCE yang saya jelaskan diparagraf sebelumnya merupakan OSCE untuk apoteker yang belum memiliki sertifikat kompetensi dan apoteker yang ingin memperbarui sertifikat kompetensi. Sehingga OSCE ini termasuk dalam rangkaian proses re-sertifikasi.
OSCE dipilih menjadi salah satu metode mendapatkan sertifikat kompetensi dikarenakan ujian ini berbasiskan klinis (interpretation clinical knowledge) sesuai dengan orientasi farmasi kedepan yaitu patient safety (drug and patient oriented). Yang dilihat dari OSCE adalah evaluasi klinis sehingga peserta harus mengetahui what, when, and how. OSCE juga dianggap dapat memberikan penilaian secara objektif karena pasien dan asessornya yang sudah terlatih dan sistemnya yang terstruktur. Penilainnya berupa poin 0-3.
Jika OSCE berorientasi kepada klinis, lantas bagaimana untuk apoteker yang bertugas di Industri? Informasi yang saya dapatkan dari Pak Toto selaku penanggung jawab sertifikasi Apoteker adalah beliau akan mengajukan OSCPE (Objektif, structure, clinical, pharmaceutical, examination) kepada IAI untuk apoteker yang bekerja di industri. Diharapkan dengan adanya OSCPE ini kelak, semua apoteker dapat mengikuti dan melewati ujian kompetensi dengan hasil yang baik. Dan dengan ujian kompetensi 2-3x dalam setahun, diharapkan pula semua apoteker dapat tercover sehingga apoteker Indonesia memiliki sertifikat kompetensi.
OSCE beberapa hari yang lalu, dilaksanakan dengan 8 station (8 ruang) sehingga peserta mendapatkan 8 soal. Soal tersebut terkait dengan assesment, pemberian dan penetapan solusi atas resep dokter, compounding, monitoring dan evaluasi (terkait efikasi dan kepatuhan pasien), penyimpanan (diutamakan pada pertimbangan penyimpanan obat), dan konseling. Sebelumnya (28 Agustus 2011) seluruh peserta mendapatkan materi terkait komunikasi, mekanisme ujian, konseling dan beberapa materi lain yang berkaitan dengan jenis soal pada masing-masing station. Lalu ujian dilaksanakan di hari selanjutnya. Peserta dibagi ke dalam 8 shift (5 shift di hari pertama dan 3 shift di hari kedua) dengan 1 shift  terdiri dari 24 orang. 24 orang tersebut, dibagi lagi menjadi 3 bagian (soal merah, kuning, dan hijau) namun ketiga bagian tersebut (merah, kuning, hijau) mendapatkan soal yang sama. Sehingga satu bagian diikuti oleh 8 peserta.
Suasana Pembacaan Soal OSCE

Saat OSCE berlangsung, saya lebih banyak berperan menjadi pasien. Saat menjadi pasien, saya ditanya siapakah saya, keperluan saya datang ke apotek, bagaimana gejala penyakit, kapan gejala tersebut ada dan sebagainya. Semua pertanyaan tersebut sudah terjawab dalam skenario sehingga itulah yang membatasi saya dalam memainkan peran, saya juga tidak diperbolehkan lari dari skenario ataupun melakukan improve. Pada hari pertama ujian (29 Agustus 2015), saya berperan sebagai pasien di station 4 yaitu station konseling, informasi dan edukasi (KIE) swamedikasi. Swamedikasi tersebut berupa cara menggunakan obat tetes mata. Saya berakting sebagai pasien bernama Adinda (25 tahun) yang datang ke apotek untuk membeli obat mata dengan nama dagang yang sudah ditentukan. Di station tersebut, peserta dituntut untuk dapat mengetahui gejala penyakit pasien dan alasan mengapa pasien ingin membeli obat tetes mata. Peserta juga harus menjelaskan cara penggunaan dan menyampaikan informasi lain terkait obat tersebut. Sistematika konseling di station ini sangat diharapkan dapat dilakukan dengan baik oleh peserta dan di station ini peserta harus menyerahkan medical record  pasien kepada asessor/penilai (Ibu Renni,Apt).

Bersama Ibu Renni selaku Asessor Station 4




Di station 4 merupakan awal pertama saya berkenalan dengan Ibu Renni yang bertugas di Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) RSPAD Gatot Subroto, dan juga merupakan bagian dari pengurus IAI. Beliau banyak bercerita seputar kehidupan apoteker Indonesia. Pesan yang saya ingat dari Ibu Renni kepada saya adalah jangan pernah berhenti mengajak teman-teman untuk melakukan konseling. Karena konseling merupakan dasar menjadi seorang apoteker dan salah satu tolak ukur kemampuan apoteker. Pernyataan ibu Renni terbukti dengan beragamnya kemampuan peserta yang melakukan konseling. Ada peserta yang melakukan konseling dengan baik dan sistematik, ada pula yang terkesan  buruk karena tidak mempersilahkan pasien duduk sama sekali. Ibu Renni juga ramah pada setiap peserta, beliau selalu bertanya peserta dinas dimana dan alasan mereka mengikuti OSCE ini. Karena berada di ruangan yang sama, sayapun mendengarkan jawaban dari setiap peserta. Sedih ketika mendengar jawaban peserta yang baru mengurus sertifikat kompetensi ketika ada tawaran menjadi penanggungjawab apotek. Jawaban lain yang membuat saya miris adalah peserta yang bekerja di IFRS sudah bertahun-tahun tapi tidak mempunyai sertifikat kompetensi, hanya bermodalkan STRA (surat tanda registrasi apoteker) saja dan selalu lolos ketika ada sidak dari dinas bersangkutan. Selain itu ada pula peserta yang memiliki apotek lebih dari satu namun meminjam nama dan SIPA orang lain bukan dirinya agar apoteknya dapat berdiri karena tidak adanya sertifikat kompetensi. Padahal apoteker yang nama dan SIPAnya dipinjam jarang berada di apotek tersebut. Lalu adapula yang masa berlaku sertifikat kompetensinya sudah bertahun-tahun habis tapi baru saja diurus sekarang. Lain lagi peserta yang sejak awal lulus profesi apoteker belum pernah mengikuti ujian kompetensi. Yaaa, kenyataan pahit tersebut memang harus diakui, diterima dan diperbaiki.
Selain menjadi pasien yang sedang sakit mata, saya juga berkesempatan untuk change jobdesk dengan teman saya di station 1 (assesment swamedikasi) yaitu memerankan pasien yang menderita penyakit asma dan datang ke apotek untuk berkonsultasi terkait pengobatan asma. Disini, saya menjadi pasien bernama Ida (25 tahun) yang akhir-akhir ini memiliki gejala sesak napas karena bekerja terlalu lelah, dan bekerja di ruangan dingin. Sebelumnya saya juga telah mengkonsumsi obat asma dengan nama dagang yang sudah ditentukan namun gejala sesak napas tak juga berhenti. Nah, peserta dituntut untuk dapat menganalisis kasus yang terjadi pada pasien Ida dan memberikan terapi obat lain (menentukan obat) yang tepat agar gejala sesak napas dapat hilang, serta memberikan solusi terapi non obat kepada pasien. Menjadi pasien di station 1 membutuhkan kehati-hatian yang sangat tinggi karena saya dituntut tetap menjawab sesuai skenario, sementara peserta dituntut untuk dapat menyebutkan obat yang diharapkan dalam skenario. Sedikit saja jawaban saya salah maka pesertapun akan salah menjawab. Biasanya, di station ini peserta menjawab obat yang tidak diharapkan karena kemampuan analisis dan pengetahun pengobatan yang berbeda-beda. Ketika saya lelah menjadi pasien, saya change jobdesk dengan teman saya yang bertugas mengambil penilaian peserta tiap kali ganti soal/ruang.
Di hari ke-2 (30 Agustus 2015), soal OSCE harus terpaksa diganti karena kebocoran soal di hari pertama. Soal yang digantipun masih setipe dan skenarionya mirip dengan soal sebelumnya. Saya mendapatkan peran di station 4 kembali dengan memerankan pasien yang menderita nyeri telinga akibat kemasukan semut. Tuntutan peserta juga sama dengan station 4 di hari pertama dan saya kembali berpartner dengan ibu Renni. Saat change jobdeskpun saya masih change dengan station 1. Di station 1 saya memerankan pasien mag. Asessor di station 1 adalah pak Yamin yang bekerja di marketing suatu industri dan juga merupakan dosen komunikasi di farmasi salah satu universitas swasta di Jakarta. Bersama Pak Yamin, saya mendapatkan wejangan bahwa komunikasi pasien sangat diperlukan agar terapi dapat berjalan dengan baik. Salah komunikasi akan salah terapi. Dan ini terbukti dengan cerita salah satu peserta dari Wamena,Papua. Beliau mengatakan bahwa dirinya bekerja di IFRS RSUD di Wamena. Suatu saat dia melakukan konseling terapi paracetamol kepada seorang bapak yang sedang demam. Saat beliau menjelaskan waktu penggunaan obat (saat pasien panas, baru obatnya diminum) sang pasien bertanya diluar perkiraan. Ia bertanya bagaimana jika hujan? Sontak peserta yang saat itu sedang menjelaskan menahan ketawa dan kebingungan bagaimana menjelaskan panas yang dimaksud adalah suhu badan bukan cuaca. Sayapun yang mendengarnya tak bisa menaha ketawa. Komunikasi saat awal yaitu perkenalan diri juga mutlak harus dilakukan dan pemberian kontak sang apoteker ataupun apotek perlu dilakukan. Pak Yamin juga berpesan pada setiap peserta yang juga menjadi pesan bagi saya yaitu walaupun bekerja di Industri, sumpah apoteker yang melekat di diri tidak bisa hilang begitu saja. Artinya tetap harus update ilmu seperti apoteker yang bekerja di bidang pelayanan. Karena menurut beliau, ketika apoteker memilih untuk bekerja di Industri, kadang mereka merasa tidak harus mengupdate ilmu terutama ilmu farmakologinya. Sehingga pak Yamin mengingatkan bahwa apoteker yang bekerja di Industri tidak boleh lupa dengan sumpah apotekernya.
Dengan mendengar dan turut merasakan berlangsungnya ujian OSCE, dapat saya simpulkan bahwa IAI telah melakukan usaha-usaha agar dapat menghasilkan apoteker sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dan IAI juga telah berusaha membuat teknis ujian kompetensi agar apoteker yang memiliki sertifikat kompetensi tidak hanya sekedar memiliki tapi juga dapat diakui kompetensinya sehingga sumber daya manusia apoteker Indonesia dapat bersaing dalam MEA. Namun dalam praktiknya memang harus diakui masih ada kekurangan-kekurangan sehingga masih ada yang perlu diperbaiki seperti batasan nilai kelulusan ataupun pengawasan soal agar tidak kembali “bocor”.


 Bersama Bapak Nurul Falah selaku ketua IAI
Foto Bersama Pasien dan Asessor Farmasi UIN Jakarta dengan Bapak Nurul Falah selaku Ketua IAI dan Bapak Noffendri selaku Sekjend IAI



Komentar