START FROM “99 CAHAYA LANGIT DI EROPA”



START FROM “99 CAHAYA LANGIT DI EROPA”



Mataku tak juga terpejam, padahal waktu telah menunjukkan pukul 23.00. Yaa, malam ini tak seperti biasanya, aku tak sedikitpun merasa mengantuk padahal tidak tidur siang. Biasanya weekend menjadi moment untuk menagih waktu istirahat, dikala padatnya jadwal weekday dan kesibukan yang memaksaku untuk terjaga hingga larut malam. Akhirnya aku memutuskan untuk menonton film yang ada di laptop ku. Karena tidak ada niatan untuk menonton film, aku memilih film asal saja dan kuputuskan untuk menonton film 99 Cahaya Langit di Eropa.

Mungkin kalian akan berpikir kalau aku super telat karena baru menyaksikan film ini, padahal film asli Indonesia ini telah lama diputar di bioskop dan pernah ditayangkan di layar televisi. Yaappp, akupun merasa kalau diri ini super duper telat untuk menyaksikan sebuh film luar biasa yang disutradarai oleh Guntur Soeharjanto. Bagaimana tidak? Jika aku menyaksikan film ini jauh-jauh hari, mungkin kesadaran akan apa yang selama ini dicita-citakan timbul sejak lama.

99 Cahaya Langit di Eropa, film yang sangat menampar hati dan pikiran. Menceritakan perjalanan mahasiswa Indonesia yang berhasil mendapatkan beasiswa di tanah Eropa. Bukan hanya kekaguman saya akan perolehan beasiswa yang didapatkan Rangga, melainkan perjalanannya untuk tetap meyakinkan Islam sebagai agamanya dikalangan orang-orang non muslim yang ada disana. Yang lebih membuat kagum adalah Aisyah, seorang gadis cilik penderita kanker dan ibunya Fatma yang memperkenalkan Islam, sejarah, dan kebudayaannya di tanah Eropa. Mereka menyadarkan diri ini bahwa kita sebagai seorang muslim harus menjadi agent islam yang baik, agen islam yang sesuai dengan ajaran Islam itu sendiri. Bagaimana bersikap dengan orang yang menjatuhkan Islam, memiliki sikap toleransi antar umat beragama, sangat terasa dalam film ini.

Aku memiliki banyak target dalam kehidupanku, salah satunya adalah dapat menjajaki pendidikan di luar Indonesia. Aku sadar kemampuan bahasaku yang masih rata-rata, sehingga aku memilih untuk dapat mecicipi pendidikan luar negri yang masih di benua Asia. Alasan kuat untuk dapat mencicipi pendidikan di negara orang adalah karena aku ingin merasakan atmosfer negara-negara lain. Tidak dapat dipungkiri, bahwa banyak masyarakat Indonesia yang tidak bangga dengan negri berlambang garuda ini. Mereka berpendapat bahwa terlalu banyak kekurangan-kekurangan di negeri ini. Satu-satunya yang dapat dibanggakan adalah kekayaan alam Indonesia yang sangat melimpah ruah. Namun sayangnya, belum banyak dari kekayaan tersebut yang dieksplor oleh negeri sendiri, dan kalaupun sudah berhasil dieksplore, pasti ada campur tangan pihak asing yang pada akhirnya Indonesia hanya mendapatkan sedikit dari apa yang dihasilkan oleh bumi pertiwi.

Keingintahuanku akan negeri tetangga yang besar mendorong aku untuk harus bisa kesana. Apakah yang selama ini orang katakan tentang Indonesia itu benar? Apakah memang negeri ini begitu bodoh dan ketinggalan zaman? Apakah negara tetangga jauh lebih baik dari Indonesia? Semua pertanyaan-pertanyaanku dapat terjawab jika aku merasakan sendiri letak perbedaannnya.

Namun, itu semua berubah ketika aku menyaksikan film yang diadopsi dari novel karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra itu. Selama ini tujuanku hanya berlandaskan oleh ego dan keinginan diri sendiri, bukan untuk berbakti pada negara atau bahkan untuk keumatan. Aku sadar, terlalu banyak hal yang harus diluruskan dari setiap mimpi-mimpi yang telah aku tulis dan terpajang di dinding kamarku. Bukan sebatas rasa ingin tahu dan kemudian dikatakan wow oleh banyak orang, tapi aku harus berprestasi dan tetap menjadi agent islam di negeri tetangga tersebut. Ketika aku berhasil mendapatkan beasiswa di negara lain, ada banyak hal yang harus dipikirkan. Bagaimana caranya agar aku berprestasi, bagaimana caranya agar aku bisa tetap makan disana, aku tetap hidup, dan tetap mempertahankan Ka’bah sebagai kiblatku. Lalu, setelah pendidikan selesai aku harus siap membangun negeriku. Mengubah mindset orang-orang disekitarku untuk yakin bahwa negara kita bisa seperti negara mereka, bangga dengan Islam, dan tetap istiqamah di jalan islam.

Film tersebut juga menyadarkan bahwa, menjadi muslim bukanlah arogan. Banyak sejarah-sejarah Islam yang saya belum tau, saya dapatkan dari film itu. Betapa megahnya bangunan gereja yang ternyata itu adalah Masjid di zamannya. Betapa ramahnya islam, hingga peninggalan-peninggalan katedral tidak dimusnahkan ketika katedral tersebut berubah menjadi masjid. Keindahan-keindahan bangunan eropa merupakan hasil cerminan bangunan-bangunan Islam, dan selama ini aku hanya tau keindahan tersebut tanpa tahu darimana asalnya.

Selama ini pula aku menggunakan hijab, tapi perilaku ku masih jauh dari seharusnya wanita yang berhijab. Padahal, hijab menjadi cara dari islam untuk menjaga kehormatan wanita-wanita muslimah. Berbicara soal hijab, aku juga harus siap untuk mempertahankan hijabku ketika nantinya aku hidup di negeri orang. Mungkin akan menjadi penghuni yang berbeda di negeri tersebut, yap that’s different but different is normal. Mempertahankan hijab adalah hal sulit bagiku, karena bukan hanya mempertahankan untuk tetap menggunakannya, melainkan pula beretika layaknya wanita yang berhijab sesuai Islam. Jika di Indonesia saja aku sulit untu mempertahankan hijabku, lantas bagaimana dengan nantinya disana?
So, the point is merubah dan terus memperbaiki diri sendiri agar kelak aku tidak menyesal dengan segala macam keputusan yang aku buat. Meluruskan niat dari segala macam cita-cita yang telah dibuat, memperhitungkan dan mengaplikasikan apa yang sudah dipunya untuk kepentingan umat. Jika kalian belum menyaksikan film ini, saya sangat sarankan untuk segera menyaksikannya karena saya berani menjamin bahwa film ini benar-benar membukakan jalan berpikir, setidaknya tidak ada hal negatif yang ditemui di film ini.

Komentar