STORY ABOUT 15th APPS (Part-1)
“Berbahagialah
ia yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri, dan
maju karena pengalamannya sendiri”
-
Pramoedya Ananta Toer -
9-15 Juli lalu, aku mewujudkan salah
satu impianku yaitu dengan menjadi delegasi ISMAFARSI untuk APPS (Asia Pacific Pharmaceutical Symposium).
APPS tahun 2016, dilaksanakan di Korea Selatan. Ada banyak hal baru yang aku
temui dan ada banyak pengalaman serta cerita sepulangnya darisana. Aku coba
menceritakannya melalui tulisan, semoga yang membaca terbayang dengan kegiatan
yang aku alami dan yang punya impian serupa bisa semakin semangat mewujdukannya :)
Keramahan Masyarakat
Korea
Matahari bersinar dengan teriknya,
membakar kulit tanpa izin. Jarak yang dekat bisa menjadi jauh tatkala jalan
yang dilewati naik turun serta bawaan yang tak kuat digenggam tangan. Pukul
sepuluh pagi waktu Korea Selatan. Ku pamit dengan pihak guesthouse menuju Universitas Dongguk, tempat dilaksanakannya Asia Pacific Pharmaceutical Symposium
(APPS) ke-15. Dengan menumpang kereta antar kota, aku menuju kota Goyang. Jalan
dari guesthouse ke stasiun terdekat,
Itaewon yang cenderung naik turun membuat aku cepat lelah dan berhenti beberapa
kali di perjalanan, terlebih aku harus menarik-narik koper dengan 2 roda yang
membuat kaos semakin basah oleh keringat. Kereta yang berada di bawah tanah,
membuat aku harus menambah tenaga untuk bisa mengangkut koper menuruni anak tangga.
Satu hal yang aku sukai dengan Korea Selatan adalah keramahan dan kepekaan
masyarakatnya. Ketika sedang sulit menuruni anak tangga dengan koper dan tas
jinjing di tangan, selalu ada orang Korea yang membantu. Mereka yang sedang
melintas sesaat, membantu aku membawa barang menuruni anak tangga tanpa pamrih
walau tidak mengenalku. Mereka tidak bisa berbahasa Inggris, dan tidak mengerti
apa yang aku katakan. Namun, mereka tau bahwa aku membutuhkan bantuan.
Tiba di dalam stasiun, aku segera
menuju koridor dimana subway (kereta
bawah tanah-red) akan datang
menjemput. Tidak harus menunggu lama, aku segera masuk ke subway menuju stasiun Baengma. Namun, subway tidak langsung menuju stasiun Baengma. Aku harus mengganti
kereta terlebih dahulu untuk menuju kesana. Setibanya di stasiun Baengma, ku
dorong kembali koper dan bawaanku keluar stasiun. Tentu dibantu lagi dengan
orang disekitar. Tidak ada subway
yang langsung menuju Universitas Dongguk di daerah Ilsan, Goyang. Sekeluarnya
aku dari stasiun, disinilah awal mula keseruanku akibat tidak bisa membaca dan
mengerti Hangul.
Hangul adalah tulisan dan bahasa yang
digunakan di Korea. Yang menarik adalah tulisan ini identik dengan kotak dan
bulat. So, jangan heran kalau kalian
berkunjung ke Korea Selatan akan menemukan banyak bulatan dan kotak-kotak. Next story is aku merasa aman dengan
adanya bahasa latin di subway selama
menggunakan transportasi tersebut. Namun, aku mulai pusing ketika harus
menggunakan bis untuk sampai ke Univeritas Dongguk. Karena tidak tahu bentuk
halte dan letaknya yang terdekat dari stasiun Baengma, aku memutuskan untuk
bertanya ke orang yang sedang lewat.
‘Did you know what’s they answer?’
beberapa orang yang aku tanya tidak bisa bahasa Inggris namun mereka mengerti
apa yang aku maksud. Mereka menunjukkan dimana halte yang aku cari dan menjawab
bahwa aku salah stasiun. Universitas Dongguk adanya di Seoul, bukan di Goyang.
Bisa kebayang kan gimana bingung dan unmoodnya
aku saat itu? Sendiri, di negeri orang, dan nyasar? Saat itu, aku hanya
berharap kalau handphone ku menangkap
jaringan wifi, mengingat aku tidak
membeli kartu perdana atau kuota di negeri tersebut. Sayangnya aku gak
beruntung saat itu. Diam di halte cukup lama, aku mencoba melihat bis dengan
nomor berapa saja yang melewati halte tersebut (di Korea, ada 3 jenis bis
berdasarkan warna, dan bis tersebut
hanya berhenti sesuai warna halte saja). Aku bengong memandang papan
rute dan trayek bis karena aku hanya bisa mengerti bis nomor berapa saja yang
lewat tanpa tahu mereka akan kemana.
Aku
duduk sambil main-main handphone
menahan tangis karena bingung mau kemana. Balik lagi ke stasiun, akupun gak
mampu membawa beratnya koper. Naik bis asal, takut makin jauh nyasarnya. Dan
akhirnya, pertolongan Allah datang. Yappp, orang Korea emang ramah. Ada 1 orang
Korea laki-laki dan sepertinya dia mahasiswa (harus disebut jenis kelaminnya
biar yang baca tau) menanyakan ‘can I
help you?’. Jgrrrrrrrr...... dia bisa bahasa Inggris (YES!). Tanpa ragu dan
basa-basi, aku langsung aja menjelaskan masalah yang terjadi. Dia tertawa dan
aku bingung karena menurutku gak ada yang lucu dari masalah ini. Dia
menjelaskan nomor bis berapa yang harus aku naiki, dan dimana aku harus turun.
Dari dia pun aku tau kalau Universitas Dongguk punya 2 gedung yang letaknya
sangat jauh (satu di Seoul, satu di Goyang) dan lebih banyak masyarakat yang
tau kalau Universitas Dongguk adanya di Seoul. Terima kasih yaaaa..........
(gak tau namanya karena gak sempet kenalan, saking senengnya dapet petunjuk).
Ketika bis yang aku tunggu tiba, dia juga membantu menaikkan koperku ke dalam
bis.
Aku
duduk di kursi depan. Melihat trayek yang dilewati bis itu dengan Hangul,
semakin bikin aku pusing. Bodoh adalah ketika aku tidak meminta si Dia untuk
menunjukkan Hangul seperti apa yang mengartikan Rumah Sakit Dongguk tempat aku
harus turun. Aku memasang muka ‘Its okay’
sebisa mungkin. Lalu coba nanya ke penumpang di belakangku (kali ini cewek ko)
tapi aku juga tidak berharap banyak (karena tau kalau orang Korea banyak yang
tidak bisa berbahasa Inggris). Si mbaknya tidak bisa menjelaskan dimana aku
harus turun karena dia sendiri gak tau cara menjelaskannya seperti apa. Hanya
gerakan tangan yang bisa dia coba jelaskan. Aku harus turun di Rumah sakit
Dongguk karena bis ini tidak lewat Universitas. Namun lokasi universitasnya di
samping rumah sakit. Karena si mbak-mbak Korea itu khawatir aku salah jalan,
dia memutuskan untuk ikut turun dimana aku harus turun dan membantu aku hingga
tiba di Universitas Dongguk (baik banget gak sih?). Setelah memastikan aku tiba
di Universitas Dongguk, dia langsung kembali lagi ke halte rumah sakit. Terima
kasih mbak.... (gak tau namanya juga).
Yappppp.... Sepenggal
cerita diatas semoga terbayang betapa ramahnya masyarakat Korea Selatan hingga
membuat aku merasa harus membantu siapapun yang matanya sipit (menduga dia
orang Korea) setibanya di Jakarta.
Komentar
Posting Komentar