Cerita Dibalik Skripsi



Cerita Dibalik Skripsi


                Pancaran sinar matahari sore itu membuat langit rumah berwarna jingga, hingga menggelap seiring berjalannya waktu. Satu buah pesan masuk ke ponselku, membawa kabar mengejutkan dan membuat diri tak dapat tidur. Sebuah nomor yang ku ketahui siapa di sebrang sana memintaku menghubunginya. Salah seorang yang selama ini telah membantuku untuk bisa mendapatkan gelar sarjana sesuai dengan target, sebut saja ibu T. Beliau merupakan petugas pendidikan dan pelatihan (DIKLAT) di salah satu rumah sakit negeri di Jakarta, sebuah rumah sakit dengan pasien yang cukup banyak, yang aku harapkan dapat menerima kehadiranku untuk bisa menyelesaikan tugas akhirku sebagai seorang sarjana. Aku menghubungi beliau dengan ponselku, dan menanyakan kabar apa yang akan beliau sampaikan kepadaku. Dengan penuh kesabaran dan tenang, beliau menyampaikan maksudnya menghubungiku, memberikan kabar yang sontak membuat jantung seakan berhenti berdetak. Lemas, sedih, ingin rasanya berteriak sekencang-kencangnya, namun aku sadar kalau sedang berada di rumah, dan akhirnya hanya tetesan air mata yang bisa aku respon terhadap kabar tersebut. ‘Maaf dek, ibu gak bisa lagi bantu kamu. Silahkan cari tempat penelitian lain. Masih banyak kok rumah sakit yang menerima penelitian farmasi’. Dengan pipi yang basah dan suara parau yang menahan emosi kesedihan, aku meminta penjelasan, memohon surat penolakan, dan masih sempat bertanya perjanjian seperti apa yang harus aku penuhi. Namun jawaban dari beliau tidak dapat memenuhi harapanku, keputusan rumah sakit sudah bulat. Aku diusir secara sepihak dan terpaksa mencari rumah sakit lain, sebagai tempatku memperoleh data penelitian.


            Pembatalan tersebut bukan tanpa sebab, dan kesedihanku sangatlah beralasan. Surat perizinan penelitian sudah ku berikan ke rumah sakit sejak awal tahun, dan sudah mendapatkan balasan di akhir bulan Januari. Aku diterima di rumah sakit tersebut dan sudah bisa ambil data sejak Februari, biaya penelitian sudah kubayarkan sesuai dengan ketentuan, dan surat penerimaan telah diperoleh, namun karena kegiatan praktikum kerja lapangan di bulan Februari dan laporannya yang harus selesai di bulan maret, aku memprioritaskan praktikum kerja lapangan tersebut, dan berpikir jika satu sudah selesai maka aku bisa fokus mengerjakan tugas akhirku. Rumah sakit menerima alasanku tersebut, dan tidak masalah jika aku harus menunda pengambilan data. Setelah selesai dengan urusan praktikum kerja lapangan, aku kembali ke rumah sakit untuk mengkonfirmasi kembali terkait penelitian. Ibu T menginfokan bahwa akan dilaksanakan akreditasi di rumah sakit tersebut hingga tanggal 21 April, dan segala bentuk kegiatan yang sifatnya berkaitan dengan orang eksternal harus diberhentikan sementara. Aku memaklumi hal tersebut, karena memang semua petugas di rumah sakit akan sibuk dengan adanya akreditasi. Aku memutuskan untuk menyelesaikan proposal skripsiku dengan harapan agar di bulan April dapat maju seminar.
            Seminar proposal telah dilaksanakan, aku kembali ke rumah sakit di bulan Mei, menanyakan kembali terkait waktu pengambilan data dapat dilakukan. Ibu T mencoba menjelaskan, bahwa setelah akreditasi ada 12 pegawai sipil di instansi tersebut yang harus pensiun, sehingga dilakukan pemutaran posisi. Ibu T termasuk pegawai yang harus dipindahkan posisinya, tidak lagi berada di DIKLAT tersebut. Namun, Ibu T masih akan membantu aku karena memang aku adalah tanggung jawab beliau. Selain itu, dengan adanya tim DIKLAT baru di rumah sakit, maka ada kebijakan baru terkait perizinan penelitian, dan mahasiswa yang akan penelitian di rumah sakit tersebut harus menyesuaikan dengan kebijakan yang baru tersebut. Aku adalah salah satu mahasiswa yang mendapatkan perizinan penelitian sesuai dengan kebijakan lama, pihak DIKLAT yang baru tidak dapat menerima alasan tersebut, dan tidak dapat mengakui surat penerimaanku. Aku berpikir akan memperjuangkan tempat penelitianku itu, namun sangat disayangkan sekali karena bantuan dari Ibu T dianggap menyalahi prosedur oleh petugas DIKLAT yang baru dan petugas instalasi farmasi. Terjadi gesekan antara sesama pegawai tersebut, dan aku berpikir itu adalah masalah internal. Aku khawatir jika memaksakan diri melanjutkan perjuanganku di tempat tersebut, akan membuat masalah internal tersebut menjadi besar. Aku mundur, mencari tempat penelitian lain.
            Penolakan tersebut  terjadi di pertengahan bulan Mei, dimana targetku saat itu adalah telah selesai melakukan pengambilan data. Mau bagaimana lagi jika kejadian di luar dugaan tersebut harus terjadi. Patah semangat pasti, karena aku berpikir prosesku untuk mendapatkan gelar sarjana akan kembali membutuhkan waktu yang lama. Impianku untuk diwisuda bulan Agustus harus kandas. Aku yang sejak awal berpikir bahwa langkahku untuk memilih penelitian klinis akan berjalan sesuai rencana dan bisa selesai tepat waktu, nyatanya membuat pikiranku berubah. Setiap mahasiswa yang sedang menyelesaikan tugas akhir atau skripsi akan memiliki masalah sendiri. Mungkin tidak ada yang lurus-lurus saja. Maka tak heran jika banyak yang tidak selesai dengan 8 semester, namun ada juga yang bisa selesai kurang dari 8 semester. Tetaplah semangat, untuk bisa mendapatkan gelar sarjana. Dan kini, aku harus berjuang kembali menghadapi birokrasi izin penelitian di tempat tujuanku, semoga Allah memudahkan prosesku kali ini, sehingga semangatku tidak kembali kendor, dan kelak segera mendapatkan gelar sarjana.

Komentar