KEBIJAKAN X KEBIJAKAN = ?
Kebijakan dari universitas membawa cahaya harapan bagi
sebagian mahasiswa tingkat akhir seperti saya. Memperpanjang waktu pendaftaran
wisuda ke-106, dan menambahkan jumlah peserta wisuda sebanyak 500an adalah
keputusan yang tepat karena memberikan kesempatan kedua bagi mereka yang hampir
menyelesaikan tugas akhirnya. Namun di sisi lain, sebuah kebijakan diputuskan
hanya melihat satu aspek (lagi), dan kembali memupuskan harapan, menghancurkan
mimpi, dan mengacaukan mental saya sebagai salah satu yang menelan pahitnya
kebijakan itu. Kebijakan itu keluar dari kepala program studi, yaitu tidak mengizinkan mahasiswa untuk daftar
ujian skripsi sebelum pertengahan November, dan (mungkin) baru bisa ujian di
Desember. Dampak dari kebijakan tersebut adalah mahasiswa tingkat akhir
harus menunda waktu kelulusan hingga 4 bulan kedepan, wisuda selanjutnya yang
dilaksanakan Februari. Padahal, beberapa mahasiswa telah merampungkan tugas
akhirnya, dan telah memeperoleh restu dari pembimbing. Berkas pendaftaranpun
telah siap. Bukan tanpa alasan, kebijakan itu diputuskan karena
mempertimbangkan keterbatasan dosen yang akan menguji, dikarenakan padatnya
jadwal perkuliahan. Asumsinya adalah akan terbengkalainya perkuliahan jika
dosen yang mengajar terus diminta untuk menguji mahasiswa tingkat akhir. Namun,
kebijakan tersebut hanya berlaku bagi mahasiswa yang mendaftarkan ujian
skripsi, tidak berlaku bagi mahasiswa yang mendaftarkan ujian proposal ataupun
ujian komprehensif. Padahal semua ujian tersebut juga membutuhkan dosen
penguji, yang jumlahnya sama. Bahkan ujian komprehensif membutuhkan penguji
lebih banyak. Apakah keputusan itu adil?
Hari itu saya mendaftarkan diri untuk ujian skripsi,
berkas yang dibutuhkan sudah lengkap, dan pembimbing saya pun telah merestui.
Namun apadaya, berkas saya tidak diterima karena kebijakan (yang saya yakin
belum didiskusikan dengan dosen lainnya) terlanjur diucapkan. Seketika dan
hingga tulisan ini di posting,
perasaan saya campur aduk. Galau, resah, kecewa, sedih, dan takut. Saya
menyadari, ada kesalahan dalam diri saya yang tidak memperhitungkan dengan baik
kapan saya harus menyelesaikan skripsi, kapan saya harus mendaftar ujian,
wisuda ke berapa yang bisa saya ikuti. Saya memang sangat menginginkan menjadi
salah satu peserta wisuda ke-106 (di bulan November), namun saya tidak berhasil
menyelesaikan semua rangkaian skripsi menuju gelar hingga 6 Oktober 2017 (batas
pendaftaran wisuda), saya pun pasrah saat itu dan meyakinkan diri saya bahwa
tak lama lagi semuanya akan selesai walaupun saya harus ikut wisuda di
selanjutnya. Secercah harapan datang dari universitas, perpanjangan waktu
pendaftaran wisuda menjadi 2 minggu lagi dan penambahan kuota peserta wisuda
menjadi lebih dari 500. Saya senang, bersemangat, dan berusaha mendapatkan
restu dari pembimbing, namun ketika semuanya sudah di depan mata, saya harus
kembali menelan kepahitan dari kebijakan yang menurut saya hanya diputuskan
sepihak, dan merugikan mahasiswa.
Bagaimana bisa sebuah keputusan program studi tidak
sejalan dengan keputusan universitas? Bagaimana bisa kebijakan struktur bawah
bertolak belakang dengan atasannya? Sampai kapan semua kegiatan perkuliahan di
kampus yang menuju world class university
ini berjalan tidak teratur? Salahkah jika saya menuding bahwa keputusan
tersebut merugikan dan menghambat impian? Setelah kejadian ini, siapa yang
harus disalahkan? Siapa yang harus bertanggung jawab? Apa yang harus saya
lakukan? Hingga tulisan ini diposting,
saya masih belum bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Semoga saya segera
mendapatkan jawaban.
Komentar
Posting Komentar