Ada Rasa (yang tertinggal) di Basket Hall Senayan

Malam itu, kita pertama kali bertemu setelah sebelumya kau menelponku untuk menanyakan keberadaanku. Bukan tanpa maksud, apalagi modus. Kau memiliki hak untuk tau dimana posisiku malam itu, dan aku wajib memberi taumu, melalui saluran telepon yang aku tak tau darimana kau tau nomor ponselku. Kurang dari 2 menit, akhirnya kita bertemu untuk sama-sama menjalankan tugas dari departemen kita masing-masing. Kau mengkonfirmasi kebutuhan tugasku selama di Basket Hall, aku menjabarkan dan menjelaskannya. Kebingungan tak dapat dihindari, ketika tau bahwa hingga pertemuan kita terjadi, belum ada tempat yang khusus untuk ku bertugas, sehingga kau pun belum bisa menyiapkan perlengkapan IT yang ku butuhkan. Kau mengajak ku menghampiri panitia pelaksana yang berwenang akan hal tersebut. Selain untuk mendapatkan jawaban atas masalahku, kau juga mengatakan 'mbak, ikut saya aja deh daripada disini sendiri lesehan. Kasihan saya'. Karena aku juga merasa bosan menunggu volunteer lain yang datang untuk absen, akhirnya aku ikut denganmu ke ruang panitia pelaksana. Saat di ruang panitia, aku terkejut dengan cara bicaramu yang menurutku 'kurang sopan' kau tunjukkan kepada mereka yang kedudukannya diatas kita. Aku mencoba menjelaskan dengan nada dan bahasa yang menurutku lebih baik darimu. Yaa, saat kau datang kepadaku pun, ku tau bahwa kau punya nada bicara yang terkesan tergesa-gesa dan menekan, seakan penuh emosi, tapi ku tepis segala pikiran negatif ku. Singkat cerita, kita tak menemukan solusi dari panitia. Tak jauh dari ruang panitia, ada ruang departemen mu. Kau mengajak ku kesana, juga untuk mencari solusi ke orang-orang di departemen mu. Dan lagi, kau menunjukkan cara berdiskusi yang tidak sopan menurutku. Bahkan kali ini, kau bicara dengan lebih menekan dan lebih beremosi. Kita pun tak mendapat jawaban dari masalah tersebut. Lalu kau bertanya 'yaudah mbak, nanti saya bantu pikiran gimananya, mbak juga tanya dulu aja ke dapartemennya. Mbak mau disini aja atau diluar, disini ajasii mbak, daripada di luar sendiri lesehan' apa yang kau ucapkan benar adanya, tapi tugasku yang 'dicari' oleh volunteer lain akan sulit jika aku memilih menunggu mereka di ruanganmu, karena akses masuk volunteer ke daerah tersebut sulit.

Kejadian singkat tersebut, membuatku memandangmu sebagai orang yang bertanggung jawab atas apa yang menjadi tugasmu. Aku tau, kau hanya menjalankan tugas sebaik-baiknya menurut versimu dengan caramu juga. Bahkan sampai aku pulang, sekitar jam 23.00 WIB dan masih di perjalanan, kau menelponku, mengabarkan informasi baru tentang kebutuhanku bertugas yang belum terpenuhi. Yaa, kau sangat bertanggung jawab atas tugasmu, aku terkesan akan hal itu.

Selang 4 hari (kalau tidak salah), aku bertugas di tempat lain yang ada kursi dan mejanya, dan memiliki akses yang mudah untuk volunteer datang. Tempat kecil, sederhana, dan tersembunyi namun cukup untuk menjalankan tugasku. Siang itu, saat matahari sedang bersinar sangat terik, aku berbagi cerita dengan volunteer lain, yang bertugas sendiri (sama dengan tugas dari departemenku). Sambil makan siang, kami cerita keluhan dan masalah yang terjadi di hadapan kami. Lalu kau datang, bersama rekan setim mu, untuk juga absensi kepadaku. Perbincangan antara aku dan temanku berhenti sejenak. Aku masih ingat apa yang kau ucapkan 'lah, jadi disini, ngumpet banget?' aku tersenyum kecil, sambil menjawab 'ya mau dimana lagi, yang ada kursi dan meja dan bisa diakses volunteer lain yaa disini' kau tertawa. Kau datang dengan sikap terbaikmu, seperti saat pertemuan pertama malam itu. dan dipertemuan ini, kau melakukan negosiasi terkait pengumpulan absensimu, untuk memudahkanmu. Tapi negosiasimu denganku tak berhasil, aku tak bisa memenuhi keinginanmu karena aku tak berani mempertanggungjawabkannya. Maaf, mungkin kau kecewa, dan aku bisa melihat itu saat melirik wajahmu yang gemas dengan sikap dan jawabanku. Maaf :(

Setelah negosiasimu selesai, aku memberikan tanda tanganku pada absenmu, sebagai tanda bahwa kau masuk dan bekerja hari itu. Lalu kau mengeluarkan statement yang sungguh tak bisa aku lupakan hingga saat ini, dan yang membuatku berpikir bahwa kau benar. Saat aku bertugas di Asian Games, memang aku menggunakan ciput, padahal dalam keseharian kuliahku aku tidak menggunakannya. dan hari itu, kau menyadarkanku meski aku tak tau apakah kau sadar atau tidak telah menyentil pikiranku. Pada temanku kau mengucapkan 'eh, lu kalo pake kerudung kaya dia dong (kaya aku maksudnya), rapi. Kerudung lu mah nutupin kepala doang, bukan nutupin aurat' Sontak, aku dan temanku kaget mendengar perkataanmu. Hai, apakah kau sadar dengan yang kau ucapkan? itu melukai perasaan temanku, tapi juga memberikan pandangan baru tentang dirimu dalam ruang diskusi di pikiranku. Kau orang yang perhatian terhadap sekelilingmu, kau peduli, tapi lagi-lagi aku juga harus mengakuinya bahwa sepertinya caramu salah. Dan statement itu masih jelas terekam dalam memoriku, dan aku menjadi malu jika berhijab tapi rambut masih terlihat. Terima kasih telah mengingatkan.

Setelah aku memberikan hak mu (tanda tangan), aku menanyakan terkait seragam yang tidak kau gunakan saat itu. Dan jawabanmu nyeleneh, kau jawab karena kau bos. Aku gemas mendengarnya, tapi ku tau itu hanya candaan belaka. Aku akui, aku membuat report tentangmu yang tidak menggunakan seragam saat di venue, dan itu adalah report pertamaku ke departemenku. Tapi tak ku sangka bahwa feedback setelah laporan itu sangat berpengaruh bagi diriku. Hari itu, menjadi hari terakhir pertemuan kita. Kau enggan menghampiriku untuk absensi ataupun hal lain, kau absensi di venue lain, karena kau sebal denganku yang sudah membuat laporan tersebut. Karena aku, kau mendapat teguran dari departemenmu. Jika tau dampaknya akan seperti ini, aku tidak akan membuat laporan dengan jujur seperti itu, meski akhirnya aku tidak bekerja secara professional. Kau tau, aku tidak siap jika hingga hari terakhir ku bekerja disana, tak adalagi pertemuan denganmu. Tak ada dialog yang kita lakukan. Aku tidak siap. Dua kali pertemuan kita, tanpa kau sadari dan tanpa aku mengerti, kau membuatku terkesan, dan sosokmu serta setiap hal yang terjadi dipertemuan kita, selalu hadir dalam pikirku. Kenapa? kenapa kamu? kenapa singkat? kenapa berkesan? hingga aku menemukan jawaban seiring waktu berjalan, bahwa kau berhasil menggantikan posisi seseorang yang bayangnya terekam dalam pikiranku selama hampir 8 tahun. Yaa, kau menggantikan dia tapi akupun tak siap dengan cara seperti ini lagi. Mengagumimu dari jauh, berharap pada suatu hal yang sangat tidak mungkin terjadi. Membayangkanmu dalam pikirku, aku tak mau lagi diam-diam suka apalagi rasa itu berkembang. Aku gamau, hanya berpikir tentangmu tapi kau tidak. Tapi kau tau, sebuah rasa tidak mungkin bisa dikontrol hanya dengan kemauan kita, aku butuh kesibukan yang amat sangat, untuk melupakan sosokmu dan rasaku yang kupendam ini.

Kau tau, saat aku mengetahui bahwa kita tak akan bertemu lagi, aku tak bisa berhenti menanayakanmu kepada temanmu yang datang untuk absensi. Aku selalu sedih, ketika cerita yang mengalir adalah kamu yang sebel denganku karena teguran seragam. Kau tau, seberapa sering aku berharap kita bisa berjumpa walau tanpa kata? aku hanya ingin melihatmu. Hanya itu, aku tak lagi memikirkan apakah kita masih bisa saling menyapa, apakah kita bisa mengobrol, hanya melihatmu, dan kau tak perlu melihat balik ke arah ku. Hanya itu :(

Setelah event selesai, aku tak ada bedanya dengan seorang pengecut, mencari tahu segala hal tentang mu dalam dunia maya. Hai, kau pandai sekali menyembunyikan identitasmu, bahkan di dunia maya sekalipun. Dan itu membuatku makin frustasi tentang rasa yang terlanjur muncul ini. Dari pencarianku, satu-satunya hal yang ku banggakan adalah aku tau dimana kamu bekerja, dan hal sedih ku dapatkan ketika tau bahwa kau in relationship. Yaaa aku sedih karena hal tersebut, padahal ku tau bahwa probability aku denganmu sangat kecil. Aku tidak bisa menghapus nomor ponselmu dari ponselku, meski aku harus mengganti ponselku. Kamu tau, ketika aku membuat status story dan kamu melihatnya, itu adalah hal terindah bagiku untuk mengetahui fakta bahwa kau save nomorku, dan aku sangat berharap mengetahui aktivitasmu dari setiap status yang kau tuliskan. Tapi sayangnya, kau sangat jarang melakukan itu.

Hai, A.M.N.T.P bayangmu yang selalu hadir di pikiranku, sosokmu dengan sikap apa adanya itu yang selalu mengganggu ruang diskusiku, sikapmu yang membuat aku tersenyum kecil ketika mengingatnya, kepedulianmu + rasa tanggungjawabmu yang akan selalu menggema dalam hati kecilku, dan statement mu yang masih terngiang dikepalaku. Aku berhutang maaf padamu, karena insiden seragam itu. Aku berhutang maaf padamu, karena telah membuat kau sebal dan kecewa. Dan aku menjalani penyesalan akan perbuatanku, karena sungguh aku tak siap jika benar siang itu menjadi pertemuan terakhir kita. Maaf, telah mengagumimu sebegitu besar. Maaf, telah menyebut namamu tanpa izin. Maaf, aku belum mampu menjaga rasaku tentangmu.

Komentar